Pengetahuan Lokal

0 134
  1. Pengetahuan Mengenai Falsafah Hidup

Dalam memahami kepribadian orang Waropen akan dilihat dari segi keuntungan dan kerugian dalam berpartisipasi dalam pembangunan.
Kepribadian itu bisa dikaji dari aspek sikap terhadap alam semesta dan sikap terhadap sesama.

1.1. Sikap terhadap alam semesta (Aspek ekonomis)
Orang Waropen memiliki gaya hidup konsumtif artinya memenuhi kebutuhan secepat mungkin yaitu pada hari yang sama. Ini artinya dunia yang sesaat dan setempat itulah yang mereka nikmati. Dunia yang lampau dilupakan dan dunia yang akan dating dinantikan untuk dinikmati jika saatnya tiba.
Pandangan ini berhubungan dengan bagaimana mereka memanfaatkan alam untuk memenuhi kebutuhan pangannya. Makanan yang diperoleh dihabiskan saat itu juga, melalui konsumsi pribadi atau distribusi pada kerabat untuk menjaga stabilitas social atau keharmonisan kosmis (hubungan manusia dengan manusia dan manusia dengan alam).
Pandangan ini juga berkaitan dengan keampuan teknologi mereka memproduksi sumberdaya alam yang terbatas sehingga teknologi yang dimiliki juga teknologi sederhana yang mampu memproduksi sumber-sember yang ada secukupnya untuk kebutuhan sesaat saja.
Terutama kelompok Waropen Kai yang tinggal di daerah dalam (Pedalaman) bila dibandingkan dengan kelompok Waropen lainnya lebih cenderung memecahkan masalah dalam situasi gawat dengan berpindah tempat. Mereka tertarik pada suatu cara hidup yang “tak terjamin” dan “penuh sensasi”. Seperti, jika sumber pangan protein sudah berkurang di wilayah tempat tinggalnya mereka cenderung pindah mencari wilayah-wilayah baru yang kaya akan sumber pangan protein, tetapi masih dalam wilayah teritorialnya. Juga bila kelompok ini terancam keselamatannya akibat wabah penyakit, perang antar kelompok territorial cenderung menghindar dengan berpindah tempat tinggal kelompoknya.

1.2. Sikap terhadap lingkungan sesama
Orang Waropen menilai sesama berdasarkan prinsip bermanfaat atau tidak. Bagi mereka sikap tolong menolong dilakukan dalam konteks resiprositas. Resiprositas adalah pertukaran timbal-balik antar individu atau kelompok. Pertukaran timbal-balik itu didasarkan oleh saling menguntungkan secara social. Jadi seseorang itu ditolong karena orang yang menolong beranggapan bahwa orang yang ditolong dapat memberi manfaat padanya, seperti orang yang ditolong merupakan anggota kerabatnya karena hubungan sedarah atau hubungan karena kawin. Orang-orang yang merupakan anggota kerabatnya ini, suatu kelak akan menolongnya jika ia membutuhkan pertolongan dari mereka karena hubungan-hubungan tersebut.
Ikatan akan sesama tidak didasarkan pada kebutuhan akan kebersamaan, melainkan kebutuhan akan keadaan darurat. Jadi Orang Waropen merasa membutuhkan orang lain apabila mereka memang mempunyai kebutuhan tertentu seperti membangun rumah, melaksanakan upacar-upacara adat dan kegiatan-kegiatan lain yang membutuhkan bantuan orang banyak. Setelah kebutuhan itu terpenuhi sikap kebersamaan itu tidak diperlukan lagi. Ini berkaitan dengan sikap basa-basi dalam kebudayaan Waropen tidak dikenal karena sesuatu yang belum membutuhkan kebersamaan akan dihindari.
Pergaulan horisontal dengan kawan dan vertikal dengan atasan berjalan sesuai dengan kebutuhan yang sewaktu dan setempat. Orang tidak merasa terikat oleh siapapun. Hanya demi survival suatu ikatan diperlukan. Atasan hanya diakui selama ia memperlihatkan kemahirannya, tetapi jika ia berlagak otoriter atau bertindak dengan sewenang-wenang tidak akan mendapat dukungan atau dicuekin . Orang Waropen rela berkorban tetapi untuk kepentingannya sendiri. Sesuatu yang tidak ada kaitan dengan dirinya atau tidak menguntungkan dirinya, akan dihindari tetapi kalau itu sangat berharga bagi dirinya ia akan mempertahankan dan rela mengorbankan dirinya untuk hal tersebut.

  1. Konsep-konsep penting dalam Kebudayaan Waropen
    2.1. Pengertian akan “Pekerjaan”

Dalam masyarakat Waropen, menjalankan suatu pekerjaan hanya dinilai dalam suatu kerangka fungsional. Artinya pekerjaan dijalankan sejauh dinilai perlu untuk mencapai sesuatu. Pekerjaan tidak mempunyai arti dalam diri sendiri. Oleh karena itu konsep kerja dalam kebudayaan Orang Waropen sangat berbeda dengan konsep kerja yang dimiliki oleh orang barat modern. Bagi orang Barat, kerja adalah eksistensi manusia. Dengan kata lain “orang harus tetap sibuk, harus tetap mengerjakan sesuatu, karena jika tidak berbuat apa-apa, akibatnya akan tidak baik bagi manusia”. Konsep kerja seperti itu tentu saja kurang masuk akal bagi penduduk Orang Waropen. Orang-orang Waropen umumnya senang bersantai, mengisi waktu luang dengan bercerita satu sama lain. Sehingga konsep kerja yang dimiliki oleh kebudayaan Waropen tidak bisa dikaitkan dengan efisiensi. Orang Waropen amat mudah meninggalkan pekerjaannya bila merasa disekitarnya ada sesuatu yang menarik perhatiannya, seperti ketika ada upacara-upacara adat seperti upacara kematian, perkawinan atau musim-musim kelimpahan pangan tertentu. Tentulah pemaknaan masyarakat Waropen terhadap kerja seperti itu sangat memusingkan banyak pengusaha atau tenaga kerja dari kebudayaan lain, terutama yang ingin menjalankan suatu proyek. Keputusan untuk melibatkan masyarakat Waropen kedalam usaha-usaha atau proyek-proyek sepenuhnya didasarkan atas pertimbangan efisiensi. Karena itu, ada kesenjangan antara nilai kerja orang Waropen dengan nilai efisiensi yang dipakai sebagai ukuran dalam pengerjaan suatu proyek.

2.2. Pengertian akan waktu
Orang Waropen menganggap waktu tidak dinilai sebagai sesuatu yang “berharga “. Jumlah waktu dinilai sebagai sesuatu yang tak terbatas sehingga tidak menjadi soal penting jika waktu diboroskan. Orang Waropen umumnya tidak mengenal pembagian waktu. Misalnya satu hari bisa dibagi kedalam tiga periode waktu: waktu kerja waktu istirahat dan waktu rekreasi. Pendeknya tidak ada waktu untuk bekerja secara intensif, untuk bersantai, dan waktu untuk bercerita panjang lebar atau istirahat. Bagi orang Waropen suatu pekerjaan lasimnya tidak dijalankan secara perorangan namun merupakan peristiwa sosial. Karena itu sulit diharapkan masyarkat Waropen akan mudah menempatkan diri dalam suatu irama pembagian waktu yang tajam. Sikap ini juga terkait dengan lama bekerja, sikap untuk menepati janji, dan lain-lain. Pendeknya orang kurang menghargai waktu.

2.3. Pengertian akan Tanah.
Tanah merupakan dasar hidup setiap orang, baik untuk tempat tinggal maupun diolah untuk menghasilkan sesuatu yang berarti secara ekonomis. Bagi masyarakat Waropen tanah memiliki makna yang sangat berbeda dibandingkan dengan masyarakat yang hidup dalam tata ekonomi modern.
Dalam pengertian masyarakat Waropen tanah adalah milik kelompok. Akan tetapi dalam hal ini kelompokpun harus dilihat secara luas. Konsep kelompok tidak meliputi mereka yang hidup sekarang saja, melainkan termasuk juga mereka yang saat ini belum lahir. Oleh karena itulah tanah juga memiliki fungsi sebagai jaminan kelangsungan hidup kelompok. Tanah adalah milik “abadi” suatu kelompok yang tidak dapat dialihtangankan. Tanah hanya dapat dipinjamkan untuk sementara waktu kepada pihak ke tiga untuk “dipakai”.
Dalam konsep ini, tanah dihayati sebagai bagian integral dari kepribadian seseorang. Nilai terhadap tanah adalah “tanpa tanah saya tidak ada”. Dalam masyarakat Waropen ikatan batin terhadap tanah sangat kuat namun tanah tidak dipandang sebagai sesuatu yang suci. Kesucian itu justru terletak pada hubungan batin antara orang dengan tanahnya.
Pengertian atas tanah seperti diungkapkan di atas, pastilah akan bertabrakan dengan pengertian atas tanah sebagai “barang ekonomis belaka”. Tidak terlalu mengherankan jika sangat banyak perkara tanah yang dihadapi dewasa ini di Waropen. Memang ada banyak transaksi jual-beli atau pengalihan kepemilikan tanah. Namun ada perbedaan persepsi yang sangat tajam antara konsep transaksi dipihak pembeli dan penduduk setempat.

2.4. Pengertian akan Jaminan sosial
Terdapat mekanisme sosial untuk menjamin hidup para anggotanya, termasuk yang kurang mampu. Sikap kesetiakawanan sosial macam ini sudah menjadi darah daging setiap warga masyarakat dan akan dibawah kemana-mana sekalipun mereka pindah jauh dari kampung asalnya. Kesetiakawanan sosial muncul jika salah satu anggota mengalami kesulitan, biasanya bersifat primordial.
Mental seperti ini tidak membuat orang Waropen menjadi mandiri karena sekalipun kekurangan toh ada yang menjamin hidupnya.

2.5. Pengertian akan perencanaan Jangka panjang.
Dalam masyarakat Waropen perencanaan jangka panjang dalam pengertian masyarakat modern, bukan merupakan suatu mental yang hidup dalam masyarakat Waropen. Orientasinya adalah subsistens artinya apa yang diperoleh dipergunakan untuk hari ini hari esok akan dicari lagi.

  1. Pengetahuan Tentang Musim
    Penduduk Waropen mengenal dua gejala alam, yaitu : Ratama
    Wado

Ratama; diartikan dengan musim angin timur. Menurut orang Waropen, Ratama adalah menunjukan keadaan laut teduh. Untuk mengetahui sudah saatnya musim teduh ini ditandai dengan munculnya burung Raja (Ghea) dari hutan pedalaman ke daerah pantai.
Keadaan seperti ini bagi orang Waropen dianggap paling baik untuk melakukan kegiatan Sami seperti menangkap ikan di laut dan sungai, mengumpulkan kerang dan kepiting, berburu dan sebagainya. Musim Ratama ini sangat dinanti-nantikan oleh orang tua terutama untuk melakukan perjalanan jauh perahu semang (Gha Somandu) ke daerah-daerah lain, malah berlayar sampai ke kabupaten Manokwari. Menurut perhitungan penanggalan, musim Ratama ini berlangsung dari bulan April sampai bulan Juli.

Wado; diartikan sebagai musim angin barat. Dalam situasi seperti ini, laut disekitar berombak. Awal dari musim ini ditandai dengan masuknya Ghea (Burung Raja) dari pantai ke dalam hutan pedalaman. Menurut orang Waropen musim Wado berlangsung dari bulan Agustus sampai bulan Maret.
Orang Waropen beranggapan bahwa saat seperti ini tidak tepat untuk sami (penangkapan hasil laut) dan melakukan perjalanan jauh. Tetapi ditunggu-tunggu oleh Orang Waropen yang dirantau untuk melakukan perjalanan kembali.
Pada saat musim Wado kegiatan ekonomi lebih banyak dilakukan di darat, seperti menokok sagu, berburu dan kegiatan-kegiatan di rumah. Orang Waropen juga sangat mahir memahami perubahan pasang surut air baik dilaut maupun di sungai. Orang Waropen mengklasifikasi air pasang surut menurut waktu dalam satu hari menjadijadi 4 kali perubahan pasang surut, yaitu:

Pagi (Mbenda): air pasang disebut Ruwe Mbenda dan Surut Tera Mbenda
Siang (Orasa): Air pasang disebut Ruwe Orasa dan surut Fobe Orasa
Petang (Onggasi): Air pasang disebut ruwe Rema dan surut disebut Foka Rana
Malam (Rana): air pasang disebut Ruwe Rana dan Surut disebut Rana Mosio

Selain istilah-istilah local seperti tersebut di atas, ada sejumlah istilah local lainnya yang berhubungan erat dengan pasang surut air di laut atau sungai seperti:

    Swabawa
    Akati
    Moisana
    Onggasi
    Modua

Awabawa adalah air pasang penuh, terjadi pada siang hari dan juga pada malam hari. Akati adalah air pasang seperti halnya Awabawa tetapi tidak sebanyak Awabawa. Akati terjadi pada siang dan malam hari. Moisana adalah air surut siang yang berkepanjangan dan terjadi akibat Awabawa. Onggasi adalah air pasang malam dan terjadi akibat Fobe orasa yang tidak berkepanjangan. Dan munculnya Onggasi ini merupakan waktu antara Fobe Orasa dan Ruwe Rema.

  1. Etnozoologi
    Orang Waropen mengenal 24 jenis hewan yang dapat dipakai sebagai simbol atau pertanda akan terjadinya suatu peristiwa tertentu. Ada 15 jenis burung yang digunakan sebagai simbol atau pertanda terjadi suatu peristiwa. Mereka juga mengenal 3 jenis binatang melata yang digunakan untuk mengetahui kejadian-kejadian tertentu. 2 jenis perilaku serangga juga dapat dilihat untuk meramal kejadian yang akan terjadi dan 4 jenis binatang mamalia.

Kejadian-kejadian yang diramal berdasarkan perilaku binatang itu, berkaitang dengan:

Peristiwa alam seperti air pasang-surut, musim ombak dan musim teduh, akan turun hujan, mahkluk halus sedang berada di rumah, disekitar perahu ada banyak ikan.
Perilaku manusia seperti akan ada tamu yang datang, ada orang disekitar yang sebelumnya tidak dilihat, sedang diintai, akan ada bahaya, sedang dibicarakan orang lain.
Penyakit, kecelakaan dan kematian seperti akan terjadi wabah penyakit, akan ada kematian, perahu akan terbalik.
  1. Pengetahuan Tentang Alam Semesta
    Pengetahuan tentang alam semsta, oleh masyarakat Waropen dikategori menjadi 3 benda-benda alam semsta, yaitu :
  2. Bulan (Ghafa)
  3. Bintang (Uma)
  4. Angin (Ghama)

6.1. Bulan (Ghafa)
pengetahuan terhadap ghafa adalah untuk menentukan waktu dan menunjuk saat kegiatan sami. Penggunaan pengetahuan ini dapat dilihat pada bentuk bulan ketika muncul disebelah berat (bulan baru).
Untuk menentukan kapan munculnya bulan baru, diawali dengan turunnya hujan dua tiga hari sebelumnya, sesudah masa gelap (oato) yang panjang / lama. Dan disaat munculnya bulan baru ini, biasanya anak setempat menyambut dengan mengeluarkan suara sambil menepuk bibir dengan telapak tangan, untuk kegiatan sami, dilihat dari condongannya bulan baru (bulan sabit). Apabila condongannya ke arah urut, berarti pencaharian didarat seperti berburu. Sebaliknya condongannya kelaut, berarti pencaharian dilakukan dilaut.

6.2. Bintang (Uma)
pengetahuan tentang uma berkaitan erat dengan kegiatan sami (seperti : bercocok tanam, menagkap ikan) dan pelayaran lokal. Penggunaan pengetahuan ini dilihat pada bintang-bintang seperti :

a). Gugusan / rasi bintang pari (sawa dan samamai)

b). Gugusan / rasi bintang kecil (ghowiritara)

c). Bintang malam (Ombaibai) dan

d). Bintang pagi (sapari)

untuk menentukan musim, diperhatikan gugusan bintang sawa dan samamai serta rasi bintang ghwiritara. Apabila gugusan bintang sawa dan samamai muncul (sawai sara) biasanya waktu yang paling tepat untuk malkukan kegiatan sami maupun pelayaran lokal. Sebaliknya, apabila sawa dan samamai berada dalam posisi menurun (sawai suni), merupakan waktu yang tidak cocok / tepat untuk melakukan kegiatan sami maupun pelayaran lokal. Karena pada saat itu bertiup angin kencang (wado).
Untuk pelayaran lokal pada waktu malam hari diperhatikan bintang ombaibai dan bintang sapari. Bintang ombaibai merupakan pedoman arah barat, sedangkan bintang sapari merupakan pedoman bintang timur.

6.3. Angin (Ghama)
pengetahuan tentang ghama ini bermanfaat untuk kepentingan pelayaran lokal dan kegiatan sami. Penggunaan pengetahuan terhadap angin berhubungan erat dengan pasang surut air laut / kali, perbedaan siang dan malam serta perbintangan.
Jenis-jenis angin setempat adalah : angin timur (raghama), angin barat (mararo) serta angin lokal, yakni darat (fefe) dan angin laut (ghanasai). Untuk kepentingan pelayaran lokal, digunakan angin timur (raghama). Sebaliknya pada saat bertiupannya angin barat (mararo) digunakan untuk kemabli dari rantau. Untuk kepentingan menagkap ikan, digunakan angin darat (fefe) sebagai pengantar kelaut, dan sebaliknya angin laut (ghanasai) untuk pulangnya. Untuk kegiatan berburu, bisanya diperhatikan pula arah angin. Pada umumnya kegiatan berburu dilakukan pada pagi hari, yaitu pada saat bertiupnya ghanasai, sehingga dalam arah yang bertentangan bau badan tidak tercium oleh burun tersebut.

  1. Pengetahuan Tentang Peralatan (Sistem Teknologi)
    Sitem Teknologi di daerah waropen yang dikenal oleh penduduk adalah: Alat Transportasi
    Alat Ukur dan Alat tukar

7.1. Alat Transportasi

Kondisi di daerah waropen banyak ditumbuhi pohon bakau (manggrove) dan terdapat pula kali / sungai yang bermuara disepanjang pesisir pantai. Sungai-sungai tersebut digunakan sebagai jalur hubungan antara Desa Urei Faisei dengan tempat pencaharian.
Untuk bisa menjangkau tempat pencaharian dalam hal ini dusun sagu, alat transportasi memegan peranan yang penting sekali. Banyak keluarga yang tidak dapat pergi kedusun, mencari ikan dan mengumpulkan bia / kerang selalu mempunyai alasan yang sama yaitu tidak ada perahu (gha).
Menurut urgentnya alat transportasi yang digunakan dapat dikelompokan ke dalam :

  1. Alat Transportasi Lokal
  2. Alat Transportasi Antar daerah / Pulau

7.1.1. Alat Transportasi Lokal
Menurut jenisnya alat transportasi lokal ini masih dapat di kelompokan lagi ke dalam :

(1) Sandua (perahu tidak bercadik yang dibuat dari kulit batang pohon sagu)

(2) Sewado (perahu tidak bercadik)

(3) Gha (perahu bercadik)

Dari ketiga jenis alat transportasi lokal diatas, yang paling banyak digunakan oleh penduduk setempat adalah sowado dan gha. Memang tak dapat disankal bahwa semula sandua merupakan alat transportasi yang sudah lama dikenal. Akan tetapi dengan adanya sowado dan gha sebagai alat transportasi yang paling efektif baik dilihat dari lamanya penggunaan dan mudah di kayuh dan dikemudikan, sandua ini mulai terdesak.
Perlu diketahui bahwa ketika alat transportasi ini baru digunakan / berfungsi apabila hendak pergi kedusun dan kemabli kerumah (dari dusun). Selama penokokan alat transportasi digunakan sebagai alat pikul (angkut) adalah noken (rowu), nokeng (rowu) digunakan untuk mengangkut hasil tokokan sagu (empulur) dan tepung sagu basah).
Cara mengangkut bagi laki-laki tidak sama dengan perempuan. Kaum lelaki lebih banyak menggunakan posisi mendukung (kipaiki / kiparo), yaitu dengan bertumpu pada kedua belah bahu nokeng baergantung pada punggung. Untuk kaum wanita lebih banyak memikul dengan posisi tali nokeng pada kepala, sedangkan nokeng bergantung dipunggung yang berfungsi sekaligus sebagai penopang.

7.1.2. Alat Taransportasi Antar Daerah / Pulau.
pada penjelasan sebalumnya pengadaan tepung sagu tidak seluruhnya dimakan akan tetapi sebagian disisihkan untuk dijual atau ditukar keluar daerah. Untuk menjual tersebut dibutuhkan alat transportasi.
Ada dua macam transportasi yang dikenal oleh penduduk setempat. Jauh sebelum dikenal motor tempel, penduduk pada saat itu lebih banyak menggunakan gha somandu adalah perahu bercadik berukuran besar. Biasanya gha somadu adalah perahu bercadik dan pada kanan dan kirinya (bercabik kembar). Gha somandu ini dilengkapi dengan layar, dan biasanya disediakan dua buah layar ; yaitu layar depan dan layar belakang. Layar depan / haluan disebut layar laki-laki (mana rararo), sedangkan layar belakang / buritan dianmakan layar perempuan (bini rararo). Selain layar, gha somandu dikayuh oleh sejumlah pria dengan menggunakan dayung (nama).
Motor tempel baru digunakan secara efektif kurang labih pada tahun 1970, yaitu bersamaan dengan pendaratan penduduk kedaratan Urei Faisei. Apabila dilihat segi kepraktisannya, motor tempel merupakan sarana angkutan yang tepat untuk digunakan,. Dengan motor tempel, penduduk tidak terlalu lama dalam perjalanan sehingga sagu yang hendak dijual atau ditukar dapat laris.
Akan tetapi ferkuensi penduduk dan pengadaan sarana ini tidak sebanding malah bisa dikatakan belum mencukupi. Oleh Pemerintah Daerah Tingkat II Kabupaten Waropen, lewat Kantor Departemen Koperasi, pernah diberikan bantuan motor tempel kepada desa-desa di wilayah Waropen.

7.2. Alat Ukur Dan Alat Tukar

7.2.1. Fi Waku
dalam penjelasan sebelumnya fi waku merupakan irisan / potongan sagu basah yang berbentuk segi empat dan adakalanya berbentuk kerucut. Ukuran panjang untuk jenis tepung sagu ini dengan perbandingan penampang masing-masing tinggi 10 cm dan lebar 10 cm.
Tentang isinya tidak suatu standar tertentu, akan tetapi dari setiap irisan / potongan fi waku ini dapat dibuat satu loyang papeda (wiwiro).
Ukuran berat setiap irisan / potongan fi waku diperkirakan 2 (dua) kilogram. Pola distribusi fi waku paling banyak bersifat lokal, dalam arti hanya dapat ditukarkan dengan makanan-makanan lokal seperti ikan dan hasil kebun lainnya.

7.2.2. Fi Saro
Fi Saro adalah jenis tepung sagu yang dinokengkang. Dari jenis ini dapat digunakan untuk berbagai keperluan yang berhubungan dengan makanan sagu, seperti : dibakar, dibungkus dan dibuat papeda (wiwiro).
Ukuran panjang untuk fi saro masing-masing dengan perbandingan tinggi 45 cm dan garis tengah 50 cm. Dari keseluruhan fi saro ini bila di konversikan ke fi waku akan diperoleh sebanyak 32 buah irisan / potongan, yang berarti dapat menghasilkan 32 loyang papeda.

Ukuran berat dari satu fi saro kurang lebih 65 kilogram.
Pola distribusi fi saro ini selain bersifat lokal itu lebih banyak berhubungan denga upacara adat dan selamatan, dimana yang membutuhkannya dapat menukarkannya dengan gelang, manik-manik maupun piring. Yang bersifat antar daerah / pulau dapat ditukar dengan jenis makanan atau barang yang memang tidak ada pada daerah setempat, seperti : kacang (kawarui), parang (naibawa), kapak (mbano), pakaian (suno, sireghi) dan sebagainya.

7.2.3. Fi Gen
Fi Gen adalah jenis tepung sagu yang ditumangkan. Apabila fi saro diatas digunakan untuk berbagai keperluan dalam hal makanan sagu, maka fi gen disiapkan untuk di jual atau ditukar. Ukuran panjang untuk jenis tepung sagu ini masing-masing dengan perbandingan tinggi 100 cm dan garis tengah 20 cm.
Seperti halnya fi saro, bagi fi gen ini belum ada suatu standar sebagai ukuran, tetapi apabila dikonversikan kedalam jenis fi saro akan diperoleh rasio perbandingan masing-masing ½ :1. maksudnya dengan separoh dengan tepung sagu basah fi saro apat diperoleh satu fi gen. Selanjutnya bila dikonvesikan kadalam fi waku akan diperoleh 16 irisan fi waku, yang dapat menghasilkan 16 loyang papeda.

Satu fi gen mempunyai berat kurang lebih 30 kilogram.
Pola distribusi dari fi gen ini selain bersifat lokal juga bersifat antar daerah / pilau. Bersifat lokal dapat dilihat dalam bentuk dijual atau ditukar. Penukaran dapat terjadi hanya pada pesta adat (marera, saira) atau selamatan. Dan jenis barang yang ditukar dengan fi gen adalah : manik-manik (rawo), piring (rewanggua) dan gelang (saparo). Untuk dijual biasanya kepasar lokal juga kepada pedagang-pedagang yang berdatangan ke Urei Faisei.
Bersifat antar daerah / pulau, dapat ditukar dengan jenis makanan atau barang yang memang tidak dijumpai / ada didaerah setempat. Seperti untuk membeli pakaian, mencukupi kebutuhan sembilan bahan pokok dan kebutuhan-kebutuhan lainnya.

7.2.4. Fi Sa
Fi Sa merupakan jenis tepung sagu yang ditumangkan, tetapi dalam ukuran yang lebih besar dibandingkan dengan fi gen. Jenis ini mempunyai perbandingan ukuran masing-masing tinggi 150 cm dengan garis tengah 50 cm.
Ukuran berat satu fi sa kurang lebih 250kilogram. Oleh karena sedemikian beratnya sehingga untuk memikul atau mengangkut dibutuhkan tenaga pikul dalam jumlah yang banyak.
Jenis tepung sagu ini dibuat secara khusus untuk acara-acara tertentu, seperti dalam hal pesta adat (saira dan munaba). Jenis barang yang ditukar meliputi piring (rewanggua), manik-manik (rawo) dan gelang (saparo).

Leave A Reply

Your email address will not be published.